Ardiman Adami M.Psi
Magister Profesi Psikologi
Universitas Islam Indonesia, Mantan Ketua Umum Imamupsi Komisariat Universitas
Islam Indonesia
Alkisah dalam sebuah peperangan,
Ali ibn Abu Thalib RA sukses mengalahkan lawannya. Ia berhasil memukul pedang
sang lawan hingga terlempar, dan menjungkalkan tubuh lawannya itu hingga tak
berkutik di tanah. Lalu, Ali menghunuskan ujung pedangnya di leher sang lawan,
menunggu untuk menusukkannya.
Namun tiba-tiba, lawan yang
tergeletak itu meludahi wajah Ali. Ali sangat kaget, seraya lekas mengusap
lelehan air ludah lawannya itu dari wajahnya. Ali terdiam sesaat, kemudian
menarik pedangnya dan beranjak pergi meninggalkan lawan yang masih terlentang
di atas tanah.
Seseorang lalu bertanya heran
mengapa Ali malah pergi dan bukan membunuh musuh yang sudah menyerah kemudian
meludahinya. Ali menjawab, “Aku diludahi, maka timbul amarah dan benci dalam
hatiku kepadanya. Karena itu aku meninggalkannya.” Ia melanjutkan, “Betapa
marahnya Tuhan kepadaku jika aku membunuhnya karena amarah dan kebencian.”
Sebuah tindakan yang sungguh sulit
dimengerti. Ketika musuh sudah tidak berkutik, kemudian menghina dengan
meludahi muka, malah diampuni. Alasan Ali sederhana: jihad fî sabîlillâh yang dilakukannya akan ternoda jika
membunuh atas dasar nafsu pribadi.
Bolehkah
Kita Marah?
Mengubur nafsu amarah atau ingin
membalas dendam, butuh perjuangan berat. Karena banyak fakta memperlihatkan,
nafsu membunuh dan mengumbar dendam tak dapat terelakkan. Apalagi ketika emosi
sudah mencapai ubun-ubun, ditambah jika ada kesempatan atau pihak yang
memprovokasi.
Ketika marah, orang yang berhati
lembut bisa lekas berubah sangar. Yang pengasih pun bisa beralih
menjadi brutal. Begitulah. Manusia memang gudangnya khilaf dan dosa. Mata
sempurna, tapi penglihatan tertutup.
Kemarahan, kalau tidak dikelola
dengan hati-hati, cenderung akan membuat kitakebablasan. Karena itu, kemarahan
sangat tak patut untuk diumbar. Bolehlah kita marah tapi hanya sewajarnya.
Aristoteles pernah mengungkapkan,
“Siapapun bisa marah. Marah itu mudah. Tapi, marah pada orang yang tepat,
dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan
dengan cara yang baik, bukanlah hal mudah.”
Sementara ini kita sering
mendengar asumsi keliru masyarakat yang menyebutkan, melampiaskan amarah adalah
salah satu cara mengatasi amarah. Dengan melampiaskan amarah, katanya, akan
dapat membuat orang yang tengah marah menjadi lebih baik dan nyaman
perasaannya.
Padahal sesungguhnya tidak
demikian. Sebab, banyak penelitian justru membuktikan bahwa melampiaskan
kemarahan sangat sedikit, bahkan tak ada hubungannya dengan upaya meredakan
amarah. Meski dengan melampiaskan amarah, orang yang mengalaminya akan merasa
terpuaskan.
Daniel Goleman, dalam Emotional Intelligence, mengungkap
hasil penelitian ahli psikologi Diane Tice dari Case Western Research
University, yang menemukan bahwa melampiaskan amarah merupakan salah satu cara
terburuk untuk meredakan amarah.
Ledakan amarah, biasanya justru
akan memompa perangsangan otak emosional. Akibatnya, orang justru akan menjadi
lebih marah dan kehilangan rasionalitas, bukan berkurang, jika amarahnya
dilampiaskan.
Dari cerita banyak orang mengenai
saat-saat mereka melampiaskan amarah kepada seseorang, tindakan itu terbukti
justru memperpanjang suasana marah. Bukan menghentikannya.
Yang jauh lebih efektif untuk
dilakukan saat seseorang diradang amarah, adalah terlebih dahulu menenangkan
diri. Kemudian, dengan cara yang lebih konstruktif dan terarah, ia harus
menghadapi orang yang bersangkutan penyebab kemarahan, dengan kepala dingin dan
hati tulus untuk menyelesaikan masalah.
Dalam sebuah artikel berjudul “Forgiveness”,
yang diterbitkan Healing Current Magazine edisi September-Oktober 1996,
disebutkan bahwa kemarahan terhadap seseorang atau suatu peristiwa, akan
menimbulkan emosi negatif dalam diri yang mengalaminya, dan merusak
keseimbangan emosional, bahkan kesehatan jasmani mereka.
Lebih lanjut dipaparkan, ada
kecenderungan manusia dapat menyadari bahwa kemarahan yang meradang mereka,
benar-benar mengganggu diri mereka. Kesadaran ini timbul beberapa saat setelah
mereka menyadari kemarahannya. Biasanya, mereka cenderung berkeinginan
memperbaiki kerusakan hubungan. Langkah yang diambil adalah dengan memaafkan.
Disebutkan pula, banyak orang
terbukti tak ingin menghabiskan waktu-waktu berharga dari hidup mereka dalam
kemarahan dan kegelisahan. Mereka cenderung lebih suka memaafkan diri sendiri
dan orang lain.
Saatnya
Menahan Amarah
Amarah terkait erat dengan sikap
atau perilaku yang cenderung mengarah pada penolakan atau permusuhan kepada
orang lain. Pintu utamanya adalah kontrol diri yang buruk, lalu mendatangkan
sakit hati yang berat.
Semua itu berjalan sesuai naluri
manusia untuk mempertahankan diri (gharîzah baqâ`). Dan naluri ini pada
dasarnya dimiliki setiap manusia normal dan membutuhkan pemuasan. Walau jika
tidak terpenuhi tak akan membawa kematian, namun kondisi ini akan menimbulkan
kegelisahan. Karenanya, Islam memberi arahan yang sangat jelas untuk menyelesaikan
masalah-masalah manusia, termasuk amarah.
Dalam telaah psikologi Islam, Dr.
Abdul Mujib mengungkapkan bahwa amarah termasuk salah satu bentuk gangguan
kepribadian (personality disorder), yang dalam terminologi Islam klasik
disebut sebagai akhlak tercela (akhlâq madzmûmah).
Sebagaimana gangguan kepribadian
lainnya, amarah dapat mengganggu realisasi dan aktualisasi diri seseorang. Itu
sebabnya seorang pemarah tak memiliki pertimbangan pikiran yang sehat. Ia juga
tak memiliki kontrol diri yang baik dalam ucapan maupun perbuatan, bahkan ia
cenderung berpikir negatif terhadap maksud baik orang lain.
Tidak berlebihan apabila
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya
marah itu bara api yang dapat membakar lambung anak Adam. Ingatlah bahwa
sebaik-baik orang adalah yang mampu melambatkan (menahan) amarah dan
mempercepat keridhaan. Dan seburuk-buruknya orang adalah yang mempercepat
amarah dan melambatkan ridha.” (HR.
Ahmad)
Menurut al-Ghazali dalam karya
mahsyurnya, Ihyâ` Ulûm
ad-Dîn, amarah (ghadhab) disebabkan oleh dominasi unsur
api atau panas (al-harârah) yang melumpuhkan peran unsur kelembaban atau
basah (ar-ruthubah)
dalam diri manusia. Karena itu, pengobatan gangguan ini bukanlah dilawan dengan
kemarahan, tapi dengan kelembutan dan nasihat-nasihat yang baik.
Rasulullah berwasiat, “Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan itu
diciptakan dari api. Sesungguhnya api itu dapat dipadamkan dengan air. Maka
barangsiapa yang marah hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Daud)
Hadits ini selain menunjukkan
sumber amarah, juga terapinya yaitu wudhu. Karena air yang dibasuhkan pada
bagian-bagian tubuh, dapat mendinginkan dan menghilangkan ketegangan urat
syaraf. Selain itu, wudhu mengingatkan psikis manusia agar berzikir kepada
Allah. Sebab zikir dapat menyembuhkan penyakit batin.
Kalau kita telusuri sejarah
Rasulullah (sîrah), kita akan tahu bahwa menahan amarah adalah salah
satu teladan yang beliau ajarkan. Masih ingat kisah ketika Rasulullah dilempari
kotoran hewan oleh seorang Quraisy? Beliau tetap sabar dan berdoa semoga Allah
membukakan hati orang tersebut.
Benar saja. Suatu hari Rasulullah
mendengar orang itu sakit. Dengan kebesaran hati, beliau menjenguk orang itu
dan menghiburnya. Akhirnya, orang itu pun masuk Islam.
Rasulullah memberi teladan tak ada
satu kata buruk pun keluar dari mulut beliau atas ulah orang-orang kampung
Thaif yang mengusir dan melempari beliau dengan batu hingga berdarah. Jika
Rasulullah tak pernah marah, bahkan selalu bersikap lembut dan memaafkan orang
yang menghinanya, bagaimana mungkin orang yang mengaku mencintai beliau berani
melakukan hal sebaliknya?
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Dan bersegerahlah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu
dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya),
baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.” (Qs. Âli
‘Imrân [3]: 133-134)
Nah, mampukah
kita mengamalkannya tanpa dengki, dendam, sakit hati, dan kemarahan? “Bukanlah disebut kuat orang yang pandai bergulat.
Sesungguhnya orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan dirinya ketika ia
sedang marah,” begitu
sabda Nabi SAW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar