Prof Dadang Hawari
Dosen Pascasarjana Fakultas
Psikologi Uiversitas Indonesia, Penulis Buku
Matthews (1996) dari
Universitas Georgetown, Amerika Serikat melaporkan, dalam pertemuan tahunan The
American Association for the Advancement of Science (1996) tercuat ide bahwa
mungkin suatu saat kelak, tugas para dokter bukan lagi hanya menuliskan resep
obat, tapi juga menuliskan doa dan dzikir pada kertas resep sebagai pelengkap.
Sebab, dari 212 studi yang
telah dilakukan oleh para ahli sebelumnya, ditemukan 75% responden menyatakan
bahwa komitmen agama (berdoa dan berdzikir) berpengaruh positif pada kesehatan
pasien. Hanya 7% yang berkesimpulan tidak. Selanjutnya dikemukakan, manfaat
terapi keagamaan ini sangat baik, terutama bagi penderita NAZA (narkotika,
alkohol, zat adiktif), depreso, kanker, hipertensi, (tekanan darah tinggi) dan
penyakit jantung
.
Ada pula survei yang
dilakukan oleh Majalah Time, CNN, dan USA Weekend (1996), menyingkap lebih dari
70% pasien percaya bahwa keimanan terhadap Tuhan, doa dan dzikir dapat membantu
mempercept proses penyembuhan penyakit. Sementara lebih dari 64% menyatakan
agar para dokter hendaknya juga memberikan terapi keagamaan (terapi
psikoreligius), antara lain dalam bentuk doa dan berdzikir. Penelitian ini
mengungkap kebutuhan para pasien kepada terapi keagamaan, selain terapi
obat-obatan dan tindakan medis.
Synderman (1996) juga pernah
melakukan penelitan tentang hubungan komitmen agama dan ilmu pengetahuan
(terapi medis) untuk mendukung temuan-temuan sebelumnya. Kesimpulan yang
didapatnya, terapi medis tanpa disertai doa dan dzikir tidaklah lengkap.
Sebaliknya pula, doa dan dzikir tanpa disertai terapi medis, juga tidak
efektif.
Christy (1998) dalam
penelitian berjudul Prayer as Medicine, mendukung kesimpulan penelitian
pendahulunya (Snyderman) dan menyatakan bahwa doa dan dzikir juga merupakan
“obat” bagi penderita, selain obat dalam pengertian medis. Ia menyimpulkan,
“medicine” (obat) yang diberikan kepada penderita mengandung dua arti. Yaitu
“prayer” (doa) dan “drugs” (obat/pil). Drugs yang dimaksud di sini adalah
medicine dan bukan NAZA.
Dari hasil-hasil
penelitian-penelitas di atas, dapat disimpulkan bahwa komitmen agama
berhubungan dengan manfaat bidang klinik (religius commitment is associated
with clinical benefit). Dan pendapat Snyderman (1996) benar adanya, bahwa
terapi medis saja tanpa disertai doa dan dzikir tidaklah lengkap. Sedangkan doa
dan dzikir tanpa disertai terapi medis juga tak akan efektif.
Dalam ajaran agama Islam,
seseorang yang sedang menderita penyakit fisik maupun psikis (kejiwaan),
diwajibkan untuk berusaha berobat kepada ahlinya (dokter/psikiater), disertai
dengan berdoa dan berdzikir (HR. Muslim, Ahmad, dan at-Tirmidzi).
Sebagai ilustrasi, dalam
sebuah hadits disebutkan, suatu hari Rasulullah SAW kedatangan seorang Sahabat
yang mengadu bahwa anaknya yang sakit dan tak kunjung sembuh. Padahal ia sudah
banyak mengerjakan shalat, berdoa, berdzikir dan berpuasa, agar anaknya lekas
sembuh. Nabi bertanya kepada Sahabat itu, apakah anaknya sudah dibawa ke tabib
(dokter). “Belum,” jawab Sahabat itu. Kemudian Nabi menasehati agar segara
mengobati anaknya itu kepada ahlinya (tabib/dokter), disertai dengan doa dan
dzikir. Tak lama setelah berobat, anak itu pun sembuh.
Dapat ditarik kesimpulan,
terapi secara ilmu pengetahuan (terapi medis) dan terapi keagamaan (doa dan
dzikir) hendaknya dilakukan bersama-sama. Karena, Allah dan Rasul-Nya memang
telah memerintahkan demikian. “Aku mengabulkan permohonan yang mendoa apabila
berdoa kepada-Ku.” (Qs. al-Baqarah [2]: 186) “Rasulullah selalu berdzikir
kepada Allah sepanjang waktu.” (HR Aisyah RA).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar