Sabtu, 26 Januari 2013

Doa sebagai obat



Prof Dadang Hawari

Dosen Pascasarjana Fakultas Psikologi Uiversitas Indonesia, Penulis Buku
Matthews (1996) dari Universitas Georgetown, Amerika Serikat melaporkan, dalam pertemuan tahunan The American Association for the Advancement of Science (1996) tercuat ide bahwa mungkin suatu saat kelak, tugas para dokter bukan lagi hanya menuliskan resep obat, tapi juga menuliskan doa dan dzikir pada kertas resep sebagai pelengkap.

Sebab, dari 212 studi yang telah dilakukan oleh para ahli sebelumnya, ditemukan 75% responden menyatakan bahwa komitmen agama (berdoa dan berdzikir) berpengaruh positif pada kesehatan pasien. Hanya 7% yang berkesimpulan tidak. Selanjutnya dikemukakan, manfaat terapi keagamaan ini sangat baik, terutama bagi penderita NAZA (narkotika, alkohol, zat adiktif), depreso, kanker, hipertensi, (tekanan darah tinggi) dan penyakit jantung
.
Ada pula survei yang dilakukan oleh Majalah Time, CNN, dan USA Weekend (1996), menyingkap lebih dari 70% pasien percaya bahwa keimanan terhadap Tuhan, doa dan dzikir dapat membantu mempercept proses penyembuhan penyakit. Sementara lebih dari 64% menyatakan agar para dokter hendaknya juga memberikan terapi keagamaan (terapi psikoreligius), antara lain dalam bentuk doa dan berdzikir. Penelitian ini mengungkap kebutuhan para pasien kepada terapi keagamaan, selain terapi obat-obatan dan tindakan medis.

Synderman (1996) juga pernah melakukan penelitan tentang hubungan komitmen agama dan ilmu pengetahuan (terapi medis) untuk mendukung temuan-temuan sebelumnya. Kesimpulan yang didapatnya, terapi medis tanpa disertai doa dan dzikir tidaklah lengkap. Sebaliknya pula, doa dan dzikir tanpa disertai terapi medis, juga tidak efektif.

Christy (1998) dalam penelitian berjudul Prayer as Medicine, mendukung kesimpulan penelitian pendahulunya (Snyderman) dan menyatakan bahwa doa dan dzikir juga merupakan “obat” bagi penderita, selain obat dalam pengertian medis. Ia menyimpulkan, “medicine” (obat) yang diberikan kepada penderita mengandung dua arti. Yaitu “prayer” (doa) dan “drugs” (obat/pil). Drugs yang dimaksud di sini adalah medicine dan bukan NAZA.

Dari hasil-hasil penelitian-penelitas di atas, dapat disimpulkan bahwa komitmen agama berhubungan dengan manfaat bidang klinik (religius commitment is associated with clinical benefit). Dan pendapat Snyderman (1996) benar adanya, bahwa terapi medis saja tanpa disertai doa dan dzikir tidaklah lengkap. Sedangkan doa dan dzikir tanpa disertai terapi medis juga tak akan efektif.

Dalam ajaran agama Islam, seseorang yang sedang menderita penyakit fisik maupun psikis (kejiwaan), diwajibkan untuk berusaha berobat kepada ahlinya (dokter/psikiater), disertai dengan berdoa dan berdzikir (HR. Muslim, Ahmad, dan at-Tirmidzi).

Sebagai ilustrasi, dalam sebuah hadits disebutkan, suatu hari Rasulullah SAW kedatangan seorang Sahabat yang mengadu bahwa anaknya yang sakit dan tak kunjung sembuh. Padahal ia sudah banyak mengerjakan shalat, berdoa, berdzikir dan berpuasa, agar anaknya lekas sembuh. Nabi bertanya kepada Sahabat itu, apakah anaknya sudah dibawa ke tabib (dokter). “Belum,” jawab Sahabat itu. Kemudian Nabi menasehati agar segara mengobati anaknya itu kepada ahlinya (tabib/dokter), disertai dengan doa dan dzikir. Tak lama setelah berobat, anak itu pun sembuh.

Dapat ditarik kesimpulan, terapi secara ilmu pengetahuan (terapi medis) dan terapi keagamaan (doa dan dzikir) hendaknya dilakukan bersama-sama. Karena, Allah dan Rasul-Nya memang telah memerintahkan demikian. “Aku mengabulkan permohonan yang mendoa apabila berdoa kepada-Ku.” (Qs. al-Baqarah [2]: 186) “Rasulullah selalu berdzikir kepada Allah sepanjang waktu.” (HR Aisyah RA).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar