Ustadz
Yusuf Mansur
Ketika yang lain bicara bahwa
kejujuran itu pahit. Tuhan berkata, Tidak! Kejujuran selalu manis, hanya perlu
kesabaran sebagai pupuknya.
Suatu hari, Parni mencoba membujuk
suaminya, Riyadi, untuk terus terang kepada pimpinan di kantornya, “Sudah Mas,
lebih baik Mas terus terang saja ke bos Mas. Sebelum semuanya terlambat.
Biasanya sih kejadian nanti tidak seburuk
yang kita bayangkan.”
Parni tak tega melihat suaminya
gelisah. Ia meminta sang suami berterus terang telah melakukan pencurian di
kantor baru-baru ini.
Sudah 15 tahun Riyadi bekerja
sebagai karyawan di bagian pergudangan di kantornya. Nyaris tiada cacat berarti
yang ia lakukan. Tapi suatu ketika, Agus, anak tertua Riyadi, sudah lebih dari
empat bulan menunggak bayaran sekolah. Kalau tak lekas dibayar, Agus akan
dikeluarkan dari sekolah.
Meski sudah kerja belasan tahun,
tapi status maupun penghasilan Riyadi selalu tak berimbang dengan kebutuhan
sehari-hari. Ia dan keluarga ‘cukup berhasil’ hidup hemat, selalu berusaha
meredam keinginan dan nafsu.
20 tahun kehidupan rumahtangga pun
ia lalui bersama istri dengan harmonis, jauh dari kegelisahan. Mereka menerima
keadaan dengan lapang dada, nrimo.
Tapi, Riyadi juga masih manusia.
Sesekali ia juga punya letupan perasaan tidaknerima. Hatinya suka berkata, bahwa
kehidupannya telah dirampok oleh negara. Penghasilannya dirampok oleh begitu
tingginya harga-harga kebutuhan hidup yang pokok.
Sering juga ia putus asa. Utamanya
ketika tak berdaya membelikan anaknya obat demam menyembuhkan sakit panas yang
tak turun-turun hingga tiga atau empat hari. Atau, ketika melihat anaknya yang
sering termangu memandangi kawan-kawannya yang sedang jajan.
Ia juga hampir mengorbankan
kejujurannya. Berkali-kali ia hampir terpedaya ucapan yang terlanjur
memasyarakat: Untuk apa jujur? Jujur itu pahit! Jujur itu miskin! Jujur itu
berarti hidup susah! Orang lain juga curang kok!
Orang lain juga culas kok!
Jadi buat apa kita jujur!
Iman dan kejujuran bisa juga
menghilang dari diri Riyadi. Apalagi kalau diingat, ia telah bekerja tanpa
penghargaan yang memadai. Tapi tak jarang ia segera ingat, semuanya adalah
keputusan Allah. Dan Allah masih memberinya harapan hidup di negeri akhirat.
Kalaulah ia miskin di dunia ini,
ia masih berharap kelak akan hidup bahagia di negeri kemudian. Begitu yang
sering ia dengar dari para ustadz, bahwa keberadaan akhirat adalah sebagai
penyempurna segala kejadian yang dianggap oleh manusia sebagai ketidakadilan.
***
Ya, Riyadi
juga masih manusia. Kali ini ia begitu tersudut oleh kenyataan bahwa ia hidup
di negeri yang manusianya sudah nafsi-nafsi,
sendiri-sendiri. Ia juga harus menerima kenyataan, bahwa hidup enak di negeri
ini saat ini hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang.
Ia juga putus asa karena
pendidikan yang digelar oleh begitu banyak lembaga pendidikan di Tanah Air,
hampir semuanya omong kosong. Kehadiran mereka bukan untuk mencerdaskan bangsa
atau membantu sesama. Pendidikan kini sudah menjadi komoditas bisnis yang tak
menaruh hati untuk kehadiran orang-orang seperti Riyadi.
‘Keputusasaan’ dan kebutuhan
Riyadi ini untuk membayar sekolah anaknya yang sudah lima bulan belum
terbayarkan, akhirnya menyeret dia untuk melakukan satu dua perbuatan nekad. Ia
curi satu dua barang dari gudang di kantornya. Tapi ia tak mencuri lebih, meski
punya kesempatan untuk itu. Ia hanya mencuri seukuran kebutuhannya.
Perusahaan Riyadi bergerak di
bidang jual beli barang-barang elektronik. Dari radio kecil, hingga televise
ukuran setengah kamarnya diproduksi dan dijual perusahaannya. Tapi Riyadi hanya
mengambil mini compo untuk ia uangkan.
Ketika dilakukan pemeriksaan rutin
oleh kantornya, Riyadi luput. Ia tak masuk daftar orang-orang yang dicurigai.
Lantaran tak ada orang yang meragukan kejujuran Riyadi. Termasuk atasannya.
Masalah pencurian ini akhirnya
di”peti-es”kan. Lagi pula, barang yang hilang itu tidak besar, menurut bosnya.
Kejadian tersebut hanya dijadikan pelajaran agar kewaspadaan ditingkatkan lingkungan
kantornya.
Sang waktu pun berjalan
sebagaimana biasa. Masalah bayaran sekolah Agus, anaknya, terbayarkan oleh
hasil jual barang curian. Riyadi bernafas lega. Satu masalah selesai. Paling
tidak ia sudah tidak diuber-uber tagihan SPP sekolah anaknya.
Tapi kemudian hadir masalah lain.
Bahkan kali ini lebih menyiksa perasaannya. Riyadi terus diburu perasaan
bersalah!
Seperti umumnya rakyat kecil,
kalau bersalah itu akan terus dianggap sebagai kesalahan. Kehidupannya pun
menjadi tidak tenang, dan terus gelisah. Berbeda sekali dengan kebanyakan orang
terpandang, terhormat, atau pandai di negeri ini. Bila berbuat kesalahan, lebih
sering menganggapnya sebagai ‘kesalahan manusiawi’, atau ‘kesalahan yang tidak
terlalu prinsip’. Mereka pun bisa tenang. Bahkan tetap tenang untuk terus
menerus melakukan kesalahan-kesalahan baru, dan berusaha menutupinya dengan
‘baju kewenangan’, atau ‘baju kekuasan dan kepintarannya’.
Ya, Riyadi hanya ‘orang kecil’ yang
berjiwa besar. Ia bersalah dan merasa bersalah. Kegelisahan dan ketidaktenangan
itu semakin menjadi-jadi. Ia khawatir, Allah sangat marah kepadanya dan akan
menghadirkan kesulitan-kesulitan yang lebih besar lagi kepadanya.
Ia sangat khawatir ajalnya akan
sampai, sementara ia sedang melakukan kesalahan yang menurutnya sangat fatal.
Ia merasa upayanya untuk berjalan lurus akan sia-sia. Di usianya yang akan
memasuki paruh baya, ia malah menghanguskan kebanggaan diri yang dulunya susah,
tapi mampu tak memakan harta yang haram.
Dirinya memang susah, tapi ia dan
keluarga tak pernah menyusahkan orang lain. Dirinya bodoh, tapi tak pernah
membodohi orang lain.
Setelah mencuri, semua prinsip ini
terasa terlanggar. Ia seakan melihat Allah sedang marah kepadanya, dan setan
justru tengah menertawai dirinya yang dapat goyah oleh kebutuhan hidup. Ketika
masalah pencurian diputihkan oleh pihak kantornya, ia justru melihatnya sebagai
kemarahan Allah yang tertunda.
Sejak itu, hari-hari ia lalui
dengan stres. Mukanya selalu kusut. Hatinya sebentar-bentar dag-dig-dug. Engga boleh
mendengar kucing jatuh dari meja atau ketukan pintu dari para tetangga, hati
dan batinnya terus tersiksa. Ia merasa sedang duduk di atas kursi mewah yang
berduri.
Dalam situasi inilah sang istri
mencoba menyarani untuk berterus terang kepada pihak kantor. Kalau memang
dipecat, ya sudahlah dipecat. Siapa tahu akan ada
kehidupan yang lebih baik. Syukur-syukur jika bisa dimaafkan.
Semua keluarganya mendukung
nasihat sang istri ini. Tak terkecuali Agus, anaknya. Ia bahkan bilang, “Kalo tau Bapak
membayar SPP dari uang haram,mendingan Agus berhenti sekolah!”
Agus khawatir, kalau ia
disekolahkan lewat uang haram, maka kepintarannya kelak akan menjadi bumerang
buat diri dan keluarganya sendiri. Bila melanjutkan sekolah dengan uang haram,
ia khawatir akan dekat dengan hal-hal yang Allah haramkan. Luar biasa!
***
Mantap sudah niat Riyadi untuk
segera berterus terang kepada pihak kantornya. Apapun yang akan terjadi
terjadilah, kata batinnya. Ia hanya berharap Allah mau mengampuni. Itu saja!
Ia tak berharap bos akan mengagumi
keberaniannya berterus terang. Ia justru siap dengan segala risiko, sepahit
apapun. Daripada nanti ditunda hukumannya di akhirat, begitu tekadnya. Riyadi
juga yakin, jika kebusukan lebih lama disimpan, maka baunya akan lebih busuk
lagi.
Akhirnya, begitu Riyadi bicara
keadaan yang sebenarnya kepada pihak kantor, ia pun dipecat! Alasan si bos, ia
tidak pernah menolerir satu kejahatan pun terjadi di kantornya.
Sampai di sini, tidak ada happy ending. Riyadi yang selama ini
digaji murah, tak diberi tunjang kesehatan apalagi keperluan-keperluan
mendadak, sudah 15 tahun menjaga kejujuran dan loyalitas kepada perusahan,
tetap harus menelan ludah pahit. Dipecat!
Riyadi sadar, ia hanya orang
kecil. Ketiadaannya tak akan berpengaruh banyak bagi kelancaran gerak
perusahaan. Untung sebelumnya ia sudah memersiapkan diri untuk tidak
membayangkan si bos akan mengagumi kejujurannya. Jadi, Riyadi tak perlu sakit
hati.
Tapi Allah tidak buta! Ketika Dia
melihat ‘perjuangan’ Riyadi yang luar biasa ini, ditambah keikhlasannya
menjalani kehidupan, saat itu pula keputusan terbaik-Nya Dia turunkan untuk
Riyadi.
Allah kemudian menunjukkan
kebenaran perkataan-Nya, bahwa ujung kehidupan antara yang baik dan yang jahat
itu berbeda. Riwayat kehidupan di kemudian hari antara orang yang menjaga iman
dengan yang menukarnya dengan dunia tak akan sama. Allah pun menunjukkan
kebesaran-Nya pada keluarga Riyadi.
Dengan modal pesangon yang hanya
dua juta rupiah, Riyadi membuka bengkel motor. Rupanya inilah ‘jalan hadiah’
dari Allah. Bengkelnya maju pesat, lebih maju dari yang ia bayangkan.
Dulu, ia sekadar berprinsip,
jangan sampai uang pesangon habis sekadar untuk makan. Kejujuran Riyadi membuat
para pemilik kliennya percaya kepada Riyadi untuk mengurusi kendaraannya yang
rusak.
Sampai hari ini, bengkel milik
Riyadi memang tetap ‘kecil’. Tapi, antrean pelanggan yang minta dilayani sangat
banyak. Bahkan mereka rela masuk daftarwaiting list, menunggu pelayanan.
Bengkel Riyadi berada di pertigaan
jalan antara Ketapang dan Gondrong, di wilayah Tangerang, Banten. Anaknya,
Agus, kini juga sudah mengelola bengkel sendiri di bilangan Ciledug, Tangerang. Brand yang
mereka pakai adalah “Berkah Motor”.
Bagi Riyadi dan keluarga,
kejujuran berarti keberkahan. Dan ketidakjujuran berarti akan menghilangkan
keberkahan. Kaya tapi tidak berkah, sama saja dengan kekayaan yang sia-sia,
kekayaan yang tak bisa dinikmati.
Ada ujung kehidupan yang manis,
yang akan Allah hadiahkan untuk semua orang yang bisa memelihara dirinya dan
menghargai Tuhannya. Sementara, ada malapetaka yang besar dan ujung kehidupan
yang pahit, untuk siapa saja yang tidak memelihara diri dan melupakan Tuhannya.
Sang waktu yang akan berbicara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar