Sabtu, 26 Januari 2013

Manisnya Kejujuran

Ustadz Yusuf Mansur

Ketika yang lain bicara bahwa kejujuran itu pahit. Tuhan berkata, Tidak! Kejujuran selalu manis, hanya perlu kesabaran sebagai pupuknya.

Suatu hari, Parni mencoba membujuk suaminya, Riyadi, untuk terus terang kepada pimpinan di kantornya, “Sudah Mas, lebih baik Mas terus terang saja ke bos Mas. Sebelum semuanya terlambat. Biasanya sih kejadian nanti tidak seburuk yang kita bayangkan.”
Parni tak tega melihat suaminya gelisah. Ia meminta sang suami berterus terang telah melakukan pencurian di kantor baru-baru ini.

Sudah 15 tahun Riyadi bekerja sebagai karyawan di bagian pergudangan di kantornya. Nyaris tiada cacat berarti yang ia lakukan. Tapi suatu ketika, Agus, anak tertua Riyadi, sudah lebih dari empat bulan menunggak bayaran sekolah. Kalau tak lekas dibayar, Agus akan dikeluarkan dari sekolah.
Meski sudah kerja belasan tahun, tapi status maupun penghasilan Riyadi selalu tak berimbang dengan kebutuhan sehari-hari. Ia dan keluarga ‘cukup berhasil’ hidup hemat, selalu berusaha meredam keinginan dan nafsu.

20 tahun kehidupan rumahtangga pun ia lalui bersama istri dengan harmonis, jauh dari kegelisahan. Mereka menerima keadaan dengan lapang dada, nrimo.
Tapi, Riyadi juga masih manusia. Sesekali ia juga punya letupan perasaan tidaknerima. Hatinya suka berkata, bahwa kehidupannya telah dirampok oleh negara. Penghasilannya dirampok oleh begitu tingginya harga-harga kebutuhan hidup yang pokok.

Sering juga ia putus asa. Utamanya ketika tak berdaya membelikan anaknya obat demam menyembuhkan sakit panas yang tak turun-turun hingga tiga atau empat hari. Atau, ketika melihat anaknya yang sering termangu memandangi kawan-kawannya yang sedang jajan.
Ia juga hampir mengorbankan kejujurannya. Berkali-kali ia hampir terpedaya ucapan yang terlanjur memasyarakat: Untuk apa jujur? Jujur itu pahit! Jujur itu miskin! Jujur itu berarti hidup susah! Orang lain juga curang kok! Orang lain juga culas kok! Jadi buat apa kita jujur!
Iman dan kejujuran bisa juga menghilang dari diri Riyadi. Apalagi kalau diingat, ia telah bekerja tanpa penghargaan yang memadai. Tapi tak jarang ia segera ingat, semuanya adalah keputusan Allah. Dan Allah masih memberinya harapan hidup di negeri akhirat.
Kalaulah ia miskin di dunia ini, ia masih berharap kelak akan hidup bahagia di negeri kemudian. Begitu yang sering ia dengar dari para ustadz, bahwa keberadaan akhirat adalah sebagai penyempurna segala kejadian yang dianggap oleh manusia sebagai ketidakadilan.
***
Ya, Riyadi juga masih manusia. Kali ini ia begitu tersudut oleh kenyataan bahwa ia hidup di negeri yang manusianya sudah nafsi-nafsi, sendiri-sendiri. Ia juga harus menerima kenyataan, bahwa hidup enak di negeri ini saat ini hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang.
Ia juga putus asa karena pendidikan yang digelar oleh begitu banyak lembaga pendidikan di Tanah Air, hampir semuanya omong kosong. Kehadiran mereka bukan untuk mencerdaskan bangsa atau membantu sesama. Pendidikan kini sudah menjadi komoditas bisnis yang tak menaruh hati untuk kehadiran orang-orang seperti Riyadi.

‘Keputusasaan’ dan kebutuhan Riyadi ini untuk membayar sekolah anaknya yang sudah lima bulan belum terbayarkan, akhirnya menyeret dia untuk melakukan satu dua perbuatan nekad. Ia curi satu dua barang dari gudang di kantornya. Tapi ia tak mencuri lebih, meski punya kesempatan untuk itu. Ia hanya mencuri seukuran kebutuhannya.
Perusahaan Riyadi bergerak di bidang jual beli barang-barang elektronik. Dari radio kecil, hingga televise ukuran setengah kamarnya diproduksi dan dijual perusahaannya. Tapi Riyadi hanya mengambil mini compo untuk ia uangkan.

Ketika dilakukan pemeriksaan rutin oleh kantornya, Riyadi luput. Ia tak masuk daftar orang-orang yang dicurigai. Lantaran tak ada orang yang meragukan kejujuran Riyadi. Termasuk atasannya.
Masalah pencurian ini akhirnya di”peti-es”kan. Lagi pula, barang yang hilang itu tidak besar, menurut bosnya. Kejadian tersebut hanya dijadikan pelajaran agar kewaspadaan ditingkatkan lingkungan kantornya.

Sang waktu pun berjalan sebagaimana biasa. Masalah bayaran sekolah Agus, anaknya, terbayarkan oleh hasil jual barang curian. Riyadi bernafas lega. Satu masalah selesai. Paling tidak ia sudah tidak diuber-uber tagihan SPP sekolah anaknya.
Tapi kemudian hadir masalah lain. Bahkan kali ini lebih menyiksa perasaannya. Riyadi terus diburu perasaan bersalah!
Seperti umumnya rakyat kecil, kalau bersalah itu akan terus dianggap sebagai kesalahan. Kehidupannya pun menjadi tidak tenang, dan terus gelisah. Berbeda sekali dengan kebanyakan orang terpandang, terhormat, atau pandai di negeri ini. Bila berbuat kesalahan, lebih sering menganggapnya sebagai ‘kesalahan manusiawi’, atau ‘kesalahan yang tidak terlalu prinsip’. Mereka pun bisa tenang. Bahkan tetap tenang untuk terus menerus melakukan kesalahan-kesalahan baru, dan berusaha menutupinya dengan ‘baju kewenangan’, atau ‘baju kekuasan dan kepintarannya’.
Ya, Riyadi hanya ‘orang kecil’ yang berjiwa besar. Ia bersalah dan merasa bersalah. Kegelisahan dan ketidaktenangan itu semakin menjadi-jadi. Ia khawatir, Allah sangat marah kepadanya dan akan menghadirkan kesulitan-kesulitan yang lebih besar lagi kepadanya.

Ia sangat khawatir ajalnya akan sampai, sementara ia sedang melakukan kesalahan yang menurutnya sangat fatal. Ia merasa upayanya untuk berjalan lurus akan sia-sia. Di usianya yang akan memasuki paruh baya, ia malah menghanguskan kebanggaan diri yang dulunya susah, tapi mampu tak memakan harta yang haram.

Dirinya memang susah, tapi ia dan keluarga tak pernah menyusahkan orang lain. Dirinya bodoh, tapi tak pernah membodohi orang lain.

Setelah mencuri, semua prinsip ini terasa terlanggar. Ia seakan melihat Allah sedang marah kepadanya, dan setan justru tengah menertawai dirinya yang dapat goyah oleh kebutuhan hidup. Ketika masalah pencurian diputihkan oleh pihak kantornya, ia justru melihatnya sebagai kemarahan Allah yang tertunda.
Sejak itu, hari-hari ia lalui dengan stres. Mukanya selalu kusut. Hatinya sebentar-bentar dag-dig-dug. Engga boleh mendengar kucing jatuh dari meja atau ketukan pintu dari para tetangga, hati dan batinnya terus tersiksa. Ia merasa sedang duduk di atas kursi mewah yang berduri.
Dalam situasi inilah sang istri mencoba menyarani untuk berterus terang kepada pihak kantor. Kalau memang dipecat, ya sudahlah dipecat. Siapa tahu akan ada kehidupan yang lebih baik. Syukur-syukur jika bisa dimaafkan.

Semua keluarganya mendukung nasihat sang istri ini. Tak terkecuali Agus, anaknya. Ia bahkan bilang, “Kalo tau Bapak membayar SPP dari uang haram,mendingan Agus berhenti sekolah!”
Agus khawatir, kalau ia disekolahkan lewat uang haram, maka kepintarannya kelak akan menjadi bumerang buat diri dan keluarganya sendiri. Bila melanjutkan sekolah dengan uang haram, ia khawatir akan dekat dengan hal-hal yang Allah haramkan. Luar biasa!
***
Mantap sudah niat Riyadi untuk segera berterus terang kepada pihak kantornya. Apapun yang akan terjadi terjadilah, kata batinnya. Ia hanya berharap Allah mau mengampuni. Itu saja!
Ia tak berharap bos akan mengagumi keberaniannya berterus terang. Ia justru siap dengan segala risiko, sepahit apapun. Daripada nanti ditunda hukumannya di akhirat, begitu tekadnya. Riyadi juga yakin, jika kebusukan lebih lama disimpan, maka baunya akan lebih busuk lagi.

Akhirnya, begitu Riyadi bicara keadaan yang sebenarnya kepada pihak kantor, ia pun dipecat! Alasan si bos, ia tidak pernah menolerir satu kejahatan pun terjadi di kantornya.
Sampai di sini, tidak ada happy ending. Riyadi yang selama ini digaji murah, tak diberi tunjang kesehatan apalagi keperluan-keperluan mendadak, sudah 15 tahun menjaga kejujuran dan loyalitas kepada perusahan, tetap harus menelan ludah pahit. Dipecat!
Riyadi sadar, ia hanya orang kecil. Ketiadaannya tak akan berpengaruh banyak bagi kelancaran gerak perusahaan. Untung sebelumnya ia sudah memersiapkan diri untuk tidak membayangkan si bos akan mengagumi kejujurannya. Jadi, Riyadi tak perlu sakit hati.

Tapi Allah tidak buta! Ketika Dia melihat ‘perjuangan’ Riyadi yang luar biasa ini, ditambah keikhlasannya menjalani kehidupan, saat itu pula keputusan terbaik-Nya Dia turunkan untuk Riyadi.
Allah kemudian menunjukkan kebenaran perkataan-Nya, bahwa ujung kehidupan antara yang baik dan yang jahat itu berbeda. Riwayat kehidupan di kemudian hari antara orang yang menjaga iman dengan yang menukarnya dengan dunia tak akan sama. Allah pun menunjukkan kebesaran-Nya pada keluarga Riyadi.
Dengan modal pesangon yang hanya dua juta rupiah, Riyadi membuka bengkel motor. Rupanya inilah ‘jalan hadiah’ dari Allah. Bengkelnya maju pesat, lebih maju dari yang ia bayangkan.
Dulu, ia sekadar berprinsip, jangan sampai uang pesangon habis sekadar untuk makan. Kejujuran Riyadi membuat para pemilik kliennya percaya kepada Riyadi untuk mengurusi kendaraannya yang rusak.
Sampai hari ini, bengkel milik Riyadi memang tetap ‘kecil’. Tapi, antrean pelanggan yang minta dilayani sangat banyak. Bahkan mereka rela masuk daftarwaiting list, menunggu pelayanan.
Bengkel Riyadi berada di pertigaan jalan antara Ketapang dan Gondrong, di wilayah Tangerang, Banten. Anaknya, Agus, kini juga sudah mengelola bengkel sendiri di bilangan Ciledug, Tangerang. Brand yang mereka pakai adalah “Berkah Motor”.
Bagi Riyadi dan keluarga, kejujuran berarti keberkahan. Dan ketidakjujuran berarti akan menghilangkan keberkahan. Kaya tapi tidak berkah, sama saja dengan kekayaan yang sia-sia, kekayaan yang tak bisa dinikmati.

Ada ujung kehidupan yang manis, yang akan Allah hadiahkan untuk semua orang yang bisa memelihara dirinya dan menghargai Tuhannya. Sementara, ada malapetaka yang besar dan ujung kehidupan yang pahit, untuk siapa saja yang tidak memelihara diri dan melupakan Tuhannya. Sang waktu yang akan berbicara.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar