Agus Riyanto
Motivator, Penulis buku Born To Be A Champion: Menguak Fakta Diri Untuk
Meraih Kemenangan Sejati
Seorang sahabat memaparkan
pertanyaan sepanjang satu halaman ke email saya. Inti yang dimaksud adalah
apakah manusia itu dilahirkan dengan kemampuan otak yang sama atau berbeda?
Tentang kreativitas seseorang, kenapa antara yang satu dengan yang lain
berbeda. Mengapa ada yang “wah” dan ada yang “biasa-biasa” saja? Tentang
beberapa bangsa di bumi ini; kenapa ada yang bisa menciptakan peradaban dan
teknologi tinggi, tapi kita tidak atau belum bisa seperti itu? Apa karena
makanan, lauk, minuman, orangtua atau keluarga? Ataukah semua itu karena
takdir?
Ada hal menarik, sahabat
penanya itu ternyata seorang gadis yang baru lulus SMA, dan sedang magang kerja
di sebuah perusahaan. Itu artinya pemikirannya sudah cukup maju, karena
kebanyakan gadis seumur dia, yang dipikirkan hanya tentang pacar atau hal-hal
sepele dalam pergaulan.
Kemajuan hidup bisa kita
peroleh dari seberapa besar atau sulit pertanyaan yang ingin kita jawab dalam
kehidupan ini. Maksudnya, diri kita yang menjadi jawaban pertanyaan kita
sendiri.
Misalnya, pertanyaan: “Apakah
semua orang memiliki kesempatan sukses yang sama?” Kita bisa menjawabnya,
apakah diri kita bisa sukses dengan segala hambatan dan keterbatasan yang ada.
Jika kita bisa menjadi diri yang “sukses”, maka pertanyaan di atas akan
terjawab dengan sendirinya. Demikian pula sebaliknya, jika ternyata “gagal”,
pasti kita juga memiliki data penyebab mengapa kita “gagal”.
Fitrah Kecerdasan
Untuk mulai menjawab
pertanyaan-pertanyaan di wal tulisan ini, penulis akan mengutip ungkapan
Buckminster Fuller: All
children are born geniuses; 9.999 out of every 10.000 are swiftly inadvertently
degeniusized by grownups.
Jadi, pada awalnya kita semua
sebenarnya memiliki kejeniusan, atau bisa dikatakan memiliki kemampuan otak
yang sama. Namun, seiring pertumbuhan, kejeniusan itu terkikis atau menjadi
terpendam secara tidak disadari, karena pengaruh lingkungan, baik keluarga,
masyarakat, dan utamanya pendidikan.
Untuk lebih jelasnya, saya
akan mengisahkan seperti apa yang saya peroleh dari
Dalam sebuah Talk Show
Nasional bersama Kak Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan Anak (24/1),
penulis mengingat sebuah cerita yang tertuang dalam pertemuan itu.
Alkisah, di sebuah hutan,
sebut saja Alas Roban, yang dihuni beragam jenis hewan, menteri pendidikan Alas
Roban memberlakukan kurikulum sekolah yang sama untuk semua jenis hewan. Semua
penghuni hutan itu dianggap sama, hingga harus mempelajar materi sama, dengan
porsi yang sama pula.
Ketika pelajaran memanjat
pohon digelar, harimau dengan mudah naik, sementara itik harus bersusah payah
memanjat, bahkan tidak juga berhasil. Monyet juga hampir menangis ketika
mengikuti pelajaran menyelam, sementara katak dengan mudahnya masuk ke dalam
air. Demikian pula harimau yang nyaris tenggelam ketika mati-matian mengikuti
pelajaran renang, sementara itik dengan gembiranya berenang di atas air.
Ketika pelajaran bergantung
di pohon, monyet dengan senangnya berayun-ayun di dahan, sementara buaya dengan
susah payah hanya bisa meraba-raba akarnya. Begitu seterusnya.
Akibatnya, lambat laun mereka
lupa tentang keahlian unik yang ada pada diri mereka sejak lahir, karena harus
mempelajari sesuatu yang bukan bakat atau bidangnya, dan terkadang dipaksakan.
Akhirnya, itik menjadi tidak bisa berenang, katak lupa dengan keahliannya
menyelam, monyet tak tahu cara memanjat pohon, dan harimau pun hanya bisa
mengaum.
Begitu pula manusia. Karena
dianggap sama dengan lainnya, dan di masa pertumbuhan kita harus belajar
tentang sangat banyak hal yang belum tentu sesuai dengan keunikan diri kita.
Akhirnya jadilah diri kita yang sekarang; yang ketika ditanya, “Apa
cita-citamu?” Kita hanya geleng-geleng kepala. “Apa bakat atau talentamu?” Kita
juga menjawab, “Tidak tahu….”
Keunikan diri masing-masing pribadi
pasti berbeda, dan berbedaan itu harus dipahami. Bahkan pada anak kembar
sekalipun, tidak bisa disamakan dalam segala hal. Tetap saja ada perbedaan
bawaan lahir yang harus diperhatikan.
Adi W. Gunawan dalam
artikelnya Born To
Be A Genius but Conditioned To Be An Idiot, menjelaskan bahwa anak
dilahirkan dengan potensi menjadi seorang jenius. Namun proses pendidikan yang
salah kerap membuat anak tak mampu mengembangkan potensinya secara optimal.
Jika ini terjadi, menurut
Adi, akan menyebabkan anak memiliki konsep diri yang buruk dengan ciri-ciri:
tidak atau kurang percaya diri, takut berbuat salah, tidak berani mencoba
hal-hal baru, takut terhadap penolakan, dan anak menjadi tidak suka belajar
atau benci sekolah.
Kemungkinan besar, karena
proses pendidikan dan pengaruh lingkunganlah, kita yang awalnya memiliki
kejeniusan yang sama, namun setelah dewasa menjadi memiliki kualitas yang
berbeda.
Mari ibaratkan dengan benih
tanaman. Jika ia tumbuh di tanah yang subur dengan iklim yang sesuai, bisa
dipastikan ia akan tumbuh seperti yang diharapkan. Tapi meski benih unggul,
buatan impor pula, namun jika ditanam di tanah yang tandus dan iklimnya tidak
sesuai, pastilah benih itu tidak akan tumbuh, bahkan mati.
Kreatifitas Unggul
Tentang kreativitas seseorang
atau suatu bangsa, mengapa ada yang bisa menciptakan teknologi tinggi sementara
yang lain tidak? Menurut penulis adalah karena kebudayaan, sejarah sosial dan
ekonomi, sistem pendidikan, nenek moyang, dan nilai hidup yang dianut
masing-masing bangsa.
Setiap bangsa memiliki ciri
sendiri. Bangsa Indonesia dijajah sekitar 3,5 abad, dan dulunya berasal dari
kerajaan-kerajaan yang bernuansa Hindu, Budha dan Islam. Nenek moyang kita juga
petani dan pelaut, sesuai kondisi alamnya. Jadi, kita boleh kagum dengan Amerika
yang bisa membuat satelit, roket dan mendaratkan manusia di bulan, namun kita
melupakan Candi Borobudur yang masuk dalam tujuh keajaiban dunia hasil karya
digjaya nenek moyang kita.
Kita mungkin kagum dengan
bangsa Jepang yang bisa merajai dunia industri elektronik dan kendaraan
bermotor, namun kita juga harus bangga memiliki kekayaan budaya dan etnik yang
beragam. Mungkin, kebanggaan diri kita kian sirna, karena bangsa kita masih tenggelam
oleh laju globalisasi. Hingga kita lupa bahwa kita juga memiliki keunikan
tersendiri.
Inilah, karena kita belum
mengoptimalkan potensi dan keunikan diri, dan cenderung memilih meniru budaya
atau teknologi luar yang katanya lebih canggih. Boleh-boleh saja kita melakukan
alih teknologi agar tidak terlalu ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain, tapi
kita juga tak boleh lupa bahwa basis negara adalah pertanian dan kelautan.
Makanan, lauk, minuman,
orangtua atau keluarga, sangat tidak berkolerasi langsung dengan
“keluarbiasaan” seseorang atau suatu bangsa. Kita bisa bercermin diri sebab
bangsa kita yang masih tertinggal dari bangsa lain. Mungkin karena kita masih
malas, kurang belajar, terlalu pasrah pada keadaan, dan kurang maksimal
menggunakan kejeniusan otak kita.
Ada sebuah anekdot
menyebutkan: Kalau otak manusia itu ada yang menjual, maka yang paling mahal
harganya adalah otak orang Indonesia. Tahu alasannya? Karena otak orang
Indonesia masih orisinil dan segar (fresh), sebab jarang dipakai. Sungguh
menyedihkan!
Lalu, seberapa besarkah peran
takdir? Seorang mentor pernah berkata, “Takdir akan turun jika kita telah
berusaha semaksimal mungkin.” Betul! Karena Allah SWT telah mengaskan, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu
kaum hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (Qs. ar-Ra’d [13]: 11)
Sudah seharusnya kita bisa
memahami keunikan diri masing-masing. Melihat bahwa kita, sebagai individu
maupun bangsa, memiliki potensi dan keunggulan tersendiri, yang bisa kita
berdayakan agar menjadi manusia atau bangsa yang luar biasa.
Jika kita fokus pada
kelebihan diri, maka kemajuan bisa kita peroleh. Namun jika kita hanya melihat
kekurangan atau keterbatasan yang kita miliki, bisa dipastikan kemajuan atau
kesuksesan akan kian menjauh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar